Usai perhelatan internasional G20 pada bulan Oktober tahun lalu di Bali, area persemaian bibit mangrove di Suwung kini masih tetap terawat dan dijadikan sebagai salah satu pusat pembibitan mangrove untuk didistribusikan secara gratis ke seluruh Indonesia di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jendral Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan BPDAS Unda Anyar.
Di kunjungan kali ini LEVA beruntung karena berkesempatan untuk mengunjungi area pembibitan yang dipandu langsung oleh penggiat komunitas mangrove dari Bali, Kak Ochi dan Kak Gerry.
Area pembibitan di sini terbagi menjadi dua. Pertama area persemaian indoor (green house) dan kedua area persemaian outdoor. Alasan dibuatnya dua tempat persemaian ini karena jenis mangrove yang disemai pun berbeda. Jenis Avicennia. sp dan Sonneratia. sp ditanam pada area indoor. Hal ini dikarenakan biji Avicennia dan Sonneratia berukuran kecil, sehingga memerlukan wadah khusus untuk persemaian dan high maintenance. Berbeda halnya dengan jenis Rhizophora. sp, Bruguiera. sp, dan Ceriops. sp. Ketiga jenis mangrove ini memiliki buah yang disebut dengan propagul, biji yang berkecambah keluar dari kulit buah berukuran panjang. Ditempatkan pada polybag dan disimpan ke dalam kolam-kolam dengan pengairan otomatis sesuai dengan pengaturan waktu penyiraman.
Demikian dengan green house, pada bagian atas terdapat mesin siram otomatis per dua jam sekali, canggih ya!
Bibit-bibit yang ada di tempat persemaian ini dibagikan secara gratis ke seluruh Indonesia. Kalian bisa mengajukan permohonan bibit gratis melalui aplikasi Ambil Bibit Gratis (ABG Bali) yang dapat diunduh melalui app store. Adapun persyaratannya; pertama, pemohon atas nama perorangan, komunitas, kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, LSM, instansi pemerintah (Pusat, Provinsi/Kabupaten/Kota/TNI/Polri), Pramuka, Perguruan Tinggi, dan sekolah. Kedua, para pihak dalam rangka mendukung kegiatan Gerakan Penanaman.
Pengambilan bibit bisa langsung datang ke lokasi pembibitan atau diantar ke tempat tujuan, dengan biaya distribusi ditanggung pemohon. Mudah bukan?
Setelah puas berkeliling area persemaian mangrove di Suwung, LEVA melanjutkan perjalanan ke kantor NGO Coral Triangle Center (CTC) yang berada di Sanur. Kami mendapat info bahwa di sana sedang ada pameran mengenai marine, hmm sangat menarik untuk dikunjungi.
Kantor CTC sangat menarik perhatian kami, dari depan sudah terlihat bangunan yang estetik. Bentuk bangunan lobby kantor dibuat seperti rumah honai, salah satu rumah adat di Papua. Tiket masuk ke pameran untuk dewasa Rp 50.000 dan anak-anak Rp 25.000. Di dalam satu grup terdiri dari 5 orang dengan 1 guide yang akan menemani pengunjung mengenal dunia marine di dalam ruangan exhibition selama 45 menit.
Di depan pintu masuk, kami disambut dengan coral warna warni yang sangat cantik. Namun tentunya bukan coral asli, itu hanya miniatur coral yang ada di laut dalam. Dibuat menyerupai aslinya, bahkan teksturnya pun menyerupai coral sungguhan. Karya seni ini dibuat oleh salah satu perupa dari CTC yang peduli dengan isu kerusakan coral. Salah satu pesan yang ingin disampaikan adalah “don’t touch coral in the deep ocean”. Karena ketika coral tersentuh maka ribuan polip dan zooxanthellae akan mati.
Diorama dan alat peraga di dalam pameran sangat menarik perhatian kami, seperti terbawa pada permainan dan teka teki bawah laut yang memacu pengetahuan dan nalar sebagai penggiat lingkungan. CTC mengkolaborasikan materi pameran dengan teknologi dan karya seni yang apik dan menarik. Salah satu yang membuat kami terkesima adalah ruangan wetlands (mangrove ecosystem). Ya … kami sangat excited ketika melihat aquarium raksasa berisi diorama ekosistem mangrove di pesisir. Alat peraga ini menggambarkan peran mangrove di pesisir sebagai sabuk hijau (green belt) yang melindungi permukiman warga pesisir di daratan. Alat peraga tersebut dirancang agar mangrove dapat terangkat ke atas, sehingga jika alat pendorong air digerakan mangrove tidak lagi menjadi benteng pesisir, sehingga air laut dan gelombang dapat menghantam permukiman yang menyebabkan terjadinya abrasi yang kini tengah mengancam pesisir di Nusantara.
Alat peraga ini dibuat sangat detail oleh salah seorang perupa dari luar negeri yang pada saat itu menjadi mahasiswa internship di CTC. Setiap item dibuat dengan bentuk , tekstur dan warna yang menyerupai aslinya. Dalam karya ini, perupa ingin menyampaikan bahwa peran mangrove sangat penting bagi pesisir. “Preserve the mangrove for our future”.
Waktu 45 menit tidak terasa bagi kami, karena pameran disajikan dengan sangat menarik dan pengunjung dapat merasakan pengalaman dan ikut menjadi bagian dari isi pameran. Perjalanan LEVA Goes to Bali berlancar sesuai dengan rencana, kami mendapat banyak pengetahuan dan kawan baru. Nantikan LEVA Goes to di edisi selanjutnya.
Penulis: Nathasi Fadhlin