Lompat ke konten
Home » Blog » LEVA Goes to Malaka: Eksplorasi Mangrove di Tanah Timor

LEVA Goes to Malaka: Eksplorasi Mangrove di Tanah Timor

Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur menawarkan keindahan alamnya yang sangat mempesona. Mulai dari pemandangan alam pegunungan, hingga pesisir. Ada berbagai jenis kawasan yang dapat dijumpai, mulai dari Taman Wisata Alam, Taman Buru, Taman Nasional hingga Cagar Alam.

Pada tanggal 9 sampai 13 September 2024 Nathasi bersama bapak Yaya peneliti mangrove dari BRIN melakukan pendataan dan eksplorasi mangrove di Kawasan Cagar Alam Maubesi yang berada di Kabupaten Malaka, Kec. Kobalima dan Malaka Tengah.

Kami berangkat pada tanggal 9 September, di hari pertama di Kupang kami langsung mengunjungi Kantor BBKSDA NTT untuk verifikasi data pelaporan surat izin masuk kawasan (Simaksi). Tujuannya untuk melaporkan kedatangan pengunjung masuk kawasan CA. Maubesi, hal ini wajib dilakukan mengingat kawasan yang akan kami masuki berstatus Cagar Alam, tingkatan teratas pada sebuah kawasan konservasi (zona inti).

Ekowisata Mangrove Oesapa

Setelah kami selesai mengurus verifikasi Simaksi, kami melanjutkan perjalanan mengunjungi Ekowisata Mangrove Oesapa. Sebuah kawasan mangrove yang dijadikan sebagai tempat wisata dan edukasi. Kami bertemu dengan pak Bin, salah seorang penggiat sekaligus pengelola tempat ini, Nathasi mengenalnya di tahun 2019 ketika pertamakali mengunjungi tempat ini.

Namun sayangnya, pasca badai seroja menghantam Kota Kupang pada tahun 2021, kini kondisi Ekowisata Oesapa tidak sebagus dahulu, banyak area jogging track yang terputus dan hancur akibat badai. Sehingga bagian yang diperbolehkan untuk dilintasi wisatawan kian terbatas, tutur pak Bin kepada kami.

“Awalnya area mangrove berada cukup jauh dari bibir pantai, pohon-pohon Sonneratia caseolaris dan Sonneratia alba berukuran besar. Tumbuh mengarah hampir ke tengah-tengah pantai. Namun saat ini, pasca badai seroja pohon-pohon mangrove yang besar hilang, dan substrat pada mangrove berubah, semua nyaris menjadi pasir. Padahal awalnya lumpur,” ujar pak Bin.

Hal ini menjadi temuan baru bagi kami, bahwa efek dari adanya badai di laut membawa endapan substrat pasir. Meski begitu, pohon-pohon mangrove masih tetap tumbuh, beberapa pohon yang memiliki akar pensil tidak mengalami kerusakan atau kematian, mereka dapat beradaptasi dengan substrat yang baru. Luar biasa!

Kami berhasil mengidentifikasi 11 jenis mangrove yang ada di Oesapa, di antaranya; Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia alba, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Xylocarpus granatum, Phempis acidula, Hibiscus tiliaceus, Terminalia cattapa, dan Pluchea indica. Usai berkeliling dan mengidentifikasi jenis-jenis mangrove yang ada di dalam kawasan, kami beristirahat. Di hari kedua di tanggal 10 September kami dijemput oleh om Manek, driver yang akan mengantar kami selama di Malaka. Kami memulai perjalanan darat menuju Kota Betun di  Kab. Malaka, kurang lebih membutuhkan waktu tempuh tujuh jam perjalanan.

Pantai Kolbano Biru yang Mempesona

Kami sangat menikmati perjalanan menuju Malaka, di kiri kanan jalan terdapat pemandangan alam yang mempesona. Hamparan padang savana, sawah, kebun, tebing, dan pantai. Ya, air pantai di Pulau Timor berwarna biru. Kami melewati jalur selatan, yang mana melewati Pantai Kolbano yang terkenal dengan airnya yang jernih berwarna biru, batu-batu di pinggir pantai yang warna-warni, serta tebing yang menyerupai wajah manusia menjadi ikon Pantai Kolbano.

Pantai Oetune, Gurun Pasir di Pesisir

Beberapa jam sebelum sampai ke hotel tujuan kami di Betun, kami menyempatkan singgah ke Pantai Oetune, sebuah pantai yang memiliki gurun pasir yang menyerupai gundukan pasir seperti di timur tengah. Pasirnya berwarna coklat dan halus, berdekatan dengan pesisir pantai yang biru. Sangat indah!

Di sekeliling Pantai Oetune terdapat banyak pohon gewang yang tumbuh tinggi menghiasi tengah-tengah gundukan pasir, sehingga menambah ornamen alami untuk wisatawan berfoto. Saat mobil kami berhenti, ada seorang gadis kelas 5 SD menghampiri kami untuk menawarkan jasanya memotret, dia tidak mematok harga atas jasanya. Kami menyetujui tawarannya untuk difoto. Dia mengarahkan kami untuk berpose layaknya model, dan hasilnya luar biasa bagus! Ance pandai mengatur settingan pada ponsel, dia bercerita pernah mendapat pelatihan materi memotret dengan ponsel oleh tim My Trip My Adventure. Di pantai ini kami tidak menemukan habitus mangrove, tanaman yang mendominasi adalah tanaman hutan pantai, sehingga kami tidak mengidentifikasi mangrove di Oetune.

Desa Weoe dan Rabasa

Setelah melewati 7 jam perjalanan, kami tiba di Kota Betun untuk bermalam di Hotel Nusa Dua. Keesokan harinya, di hari ke tiga tanggal 11 September kami berkunjung ke Desa Weoe dan Rabasa untuk mengidentifikasi mangrove di sana. Di Desa Weoe kami menemukan 5 jenis mangrove, di antaranya; Rhizophora stylosa, Bruguiera parviflora, Xylocarpus molucensis, Avicennia marina, dan Acanthus ilicifolius.

Lokasi eksplorasi yang kami datangi di Desa Weoe berbatasan langsung dengan area tambak garam milik perusahaan PT. IDK. Kolam-kolam tambaknya sangat luas, mungkin 5x luas lapangan sepakbola, sangat luas! Area hutan mangrove persis berada di seberang, hanya dipisahkan oleh sekat kanal kecil. Di tahun 2019 hingga 2021, Nathasi pernah menjadi bagian dari karyawan PT. IDK, sebagai asisten CSR yang menangani rehabilitasi hutan mangrove akibat land clearing. Nathasi bersama tim di Weoe membentuk program persemaian dan penanaman. Di tahun 2021 Nathasi resign dan memfokuskan diri untuk mengembangkan LEVA hingga sekarang. Inilah yang menjadi salah satu dasar Malaka dipilih menjadi lokasi eksplorasi LEVA.

Dulu di Weoe terdapat rumah semai yang cukup besar untuk menampung propagul yang disemai. Ada juga tim yang membantu penanaman di sekitar area tambak garam dan sekitar sekat kanal. Berdasarkan peta, hutan mangrove yang masih tersisa bersatatus hutan adat. Tutupannya cukup rapat, diameter batangnya besar, mungkin bisa mencapai 20 cm, akar-akar tunjang dan banirnya sangat besardan kokoh. Tidak ada orang yang berani ke dalam tanpa keperluan atau ritual adat. Di sana mangrove dijaga untuk mempertahankan permukiman yang berada di desa. Jika air pasang pasti ada buaya muara yang datang, karena memang habitatnya. Untung saja saat kami masuk ke dalam tidak bertemu.

Usai memetakan titik koordinat dengan aplikasi SW Maps, kami bergegas menuju Desa Rabasa untuk mengidentifikasi mangrove di sana. Desa Rabasa juga merupakan salah satu site tambak garam milik PT. IDK. Luasnya lebih kecil dari Desa Weoe. Dulu di Rabasa juga memiliki rumah semai mangrove dan area penanaman, lokasinya hampir serupa dengan Weoe, terdapat sekat kanal yang membatasi tambak dengan hutan mangrove. Kak Alex salah satu security di Rabasa mengatakan baru-baru ini ia dan temannya hampir digigit buaya karena mancing di pinggir kanal sungai. Dari belakang ada buaya yang menghampiri dan menerkam, untungnya ada batang pohon mangrove yang mati menghalangi buaya sehingga mereka selamat dari serangan. Hal ini menandakan populasi buaya cukup banyak dan sayangnya habitat mereka terganggu akibat adanya alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak garam.

Di Desa Rabasa kami mengidentifikasi 7 jenis mangrove, di antaranya; Rhizophora stylosa, Bruguiera hainesii, Ceriops tagal, Avicennia marina, Phempis acidula, Acrosticum aureum, dan Pluchea indica.

Pak Yaya juga mengambil beberapa gambar dengan drone, tampak dari atas batas laut dengan tambak garam dan hutan mangrove sangat dekat.

Hari mulai senja, kami sempat menikmati sunset yang jingga di Rabasa. Semaian mangrove yang dahulu Nathasi tanam, kini sudah tinggi, mereka tumbuh subur dan mulai mengeluarkan akar tunjangnya. Mereka sudah bisa beradaptasi dan dijaga alam. Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIT, kami bergegas kembali ke Betun untuk istirahat dan melanjutkan eksplorasi di esok hari.

CA. Maubesi

Pukul 08.00 WIT kami mendatangi kantor Resort BBKSDA untuk laporan kunjungan masuk ke dalam kawasan Cagar Alam. Selama eksplorasi kami akan didampingi oleh tiga orang petugas patroli yang akan memandu selama perjalanan, serta pak Paulo, kepala resort.

Di hari pertama masuk kawasan kami akan menempuh perjalanan via darat menuju Masin Lulik, sebuah gunung larva yang terdapat di tengah-tengah hutan mangrove. Ada sekitar empat gunung, namun yang ukurannya besar dan aktif hanya satu. Masin Lulik artinya lumpur garam, larva dari dalam gunung ini akan keluar jika gelombang ombak di laut sedang tinggi. Pak Paulo mengatakan, di dalamnya seperti ada lorong yang menghubungkan getaran kontraksi antara gelombang dan semburat lumpur. Uniknya suhu pada lumpur dingin. Tempat ini menjadi tempat keramat (pamali) desa di sekitarnya, dahulu tidak ada orang yang mau memasuki area ini karena dianggap keramat. Namun setelah menjadi status Cagar Alam kawasan ini semakin diperhatikan oleh BBKSDA NTT dan dijaga ketat oleh tim patroli hutan.

Di dalam hutan, kami berhasil mengidentifikasi 14 jenis mangrove, di antaranya: Rhizophora stylosa, Ceriops tagal, Bruguiera hainesii, Avicennia alba, Sonneratia alba, Scyphiphora hydrophyllacea, Osbornia octodonta, Lumnitzera racemosa, Phempis acidula, Hibiscus tiliaceus, Scaevola tacadda, Terminalia cattapa, Pluchea indica, dan Casuarina equisetifolia.

Di sini kami menemukan banyak sekali pohon Bruguiera hainesii (mangrove mata buaya), karena menjadi salah satu mangrove endemik di CA. Maubesi. Bahkan kami tidak menemukan Bruguiera jenis lain, hanya ada Bruguiera hainesii.

Namun sayangnya saat kami ke sini bulan September, tidak sedang musim buah, sehingga nyaris kami tidak menemukan buahnya, hanya bunganya saja. Pohon Osbornia octodonta berhasil kami temukan di sini, ini adalah pertama kalinya Nathasi melihatnya. Osbornia sp. termasuk ke dalam mangrove aosiasi (mangrove ikutan). Jenis mangrove ini masuk dalam famili Myrtaceae atau keluarga jambu-jambuan. Ketinggiannya dapat mencapai 5 m dan tidak memiliki akar napas/udara. Batangnya berwana abu-abu kecoklatan, berserat dan berserabut, kayunya keras dan kuat.

Terdapat 1-3 bunga dalam satu tandan yang muncul diketiak daun. Bentuk daunnya mirip dengan Lumnitzera sp. namun lebih tipis dengan letak berhadapan. Daunnya berbau aromatis bila diremas hal ini membuat nelayan menggunakan daunnya untuk mengusir nyamuk. Ekstrak daunnya mengandung minyak atsiri sama dengan yang terdapat pada Eucalyptus (source: Blueforest).

Anakan Osbornia sp. sangat kecil, mereka tumbuh dari buahnya yang ukurannya sangat mini, hampir menyerupai Lumnitzera littorea. Karena bentuk fisiknya hampir menyerupai Lumnitzera littorea Nathasi dan pak Yaya sempat terkecoh, untungnya dibantu dengan buku identifikasi, terlihat batang dan ranting Osbornia sp. dominan abu-abu kecoklatan, berbeda halnya dengan Lumnitzera littorea yang memiliki warna dominan abu-abu muda. Tanda ini yang menyakinkan kami bahwa ini adalah Osbornia octodonta. Seru sekali! Tidak semua publikasi dan jurnal yang kami baca memiliki kesamaan bentuk fisik yang sama dari tanaman aslinya yang tumbuh di alam. Kami banyak menemukan kejanggalan dan perbedaan pada bentuk dan ukuran daun dan batangnya. Mereka dapat beradaptasi yang dipengaruhi cuaca dan salinitas air laut. Kami menemukan pohon Rhizophora stylosa yang ciri-cirinya mirip seperti Rhizophora lamarckii. Sayangnya kami tidak menemukan buah/progagul Rhizophora stylosa sehingga kami berkesimpulan bahwa itu adalah Rhizophora lamarckii yang kawin silang (hybrid) dengan Rhizophora apiculata sehingga tidak menghasilkan buah.

Nyaris kami terkecoh! Pada ketiak daun terdapat perpaduan bentuk kelopak bunga yang menyerupai Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa sehingga sekilas mirip dengan Rhizophora lamarckii. Bentuk dan ukuran daunnya juga sama, agak ramping silinder. Namun setelah kami amati dan bandingkan lagi dengan gambar yang ada di buku, ternyata itu adalah Rhizophora stylosa yang beradaptasi dengan toleransi salinitas tinggi sehingga bentuk daunnya sangat ramping dan bentuk kelopak bunganya juga mengecil.

Pak Yaya mengatakan hal tersebut adalah bagian dari cara mangrove beradaptasi dengan lingkungannya. Dan seringkali kita terkecoh dengan bentuknya yang tidak sama dengan buku identifikasi yang sering menjadi acuan identifikasi di lapangan. Padahal faktanya, mangrove lebih dari itu, faktanya mereka dapat mengubah fisiologis mereka sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya. Awesome!!

Semakin mengarah ke dalam kami menemukan kanal-kanal sungai yang bermuara ke Teluk Hasan Maubesi, saat siang air sedang surut sehingga aman bagi kami untuk berjalan-jalan di sekitar kanal sungai, karena jika pasang tiba akan ada buaya.

Fauna yang mendominasi di sini memang buaya, karena Teluk Hasan Maubesi dikelilingi oleh hutan mangrove yang memiliki rawa dan kanal habitat buaya muara. Kami sempat mendengar suara beberapa koloni monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berteriak, kata pemandu kami artinya mereka sedang melihat buaya. Hanya suara Macaca yang kami dengar, bahkan suara kicauan burungpun nyaris tidak ada, hutan mangrove terasa sunyi.

Siang di Maubesi sangat hening, hanya desis angin yang mengerakkan ranting dan daun-daun mangrove, sesekali terdengar hempasan ombak dari arah laut memecah keheningan.

Setelah memetakan titik koordinat dengan aplikasi SW Maps kami mengakhiri eksplorasi, waktu juga menunjukkan jam makan siang, kami kembali ke Betun untuk makan siang.

Teluk Hasan Maubesi dan Masin Lulik Super Besar

Keesokan harinya, di hari ke lima, tanggal 13 September kami akan mengeksplorasi Maubesi melalui jalur sungai dengan perahu milik nelayan.

Sungai tersebut lagi-lagi adalah habitat buaya muara. Sudah pasti banyak buaya di sana jika malam hari. Kami ke sana berangkat puluk 08.00 WIT. Kata pak Paulo buaya tidak akan ada karena mereka tidur, buaya juga bagian dari binatang nokturnal yang aktif mencari makan di malam hari. Kami sangat tenang karena di sana kami akan banyak menepi dan turun untuk mengidentifikasi mangrove ke dalam-dalam hutan.

Kami memulai perjalanan dari Dermaga Kletek tempat perahu-perahu nelayan bersandar. Kami hampir cemas karena sebelumnya belum memesan perahu untuk antar ke Masin Lulik terbesar yang berada di Teluk Hasan Maubesi. Tim patroli hutan menyarankan datang dulu saja ke dermaga, siapatau ada nelayan yang tidak sedang melaut. Di sepanjang perjalanan kami berdoa dan berafirmasi ada perahu yang dapat kami sewa.

Sesampainya di dermaga, ada dua perahu yang bersandar, dengan cekatan tim patroli hutan menghampiri nelayan dan menanyakan perahunya apakah bisa di sewa atau tidak. Syukurnya ada satu nelayan yang akan baru melaut siang. Sehingga masih bisa kami sewa. Kami menghela nafas lega, akhirnya kami bisa mengeksplorasi ke dalam teluk!

Sambil menunggu perahu disiapkan, seperti biasa kami assesment sekeliling, siapatau menemukan jenis mangrove lain yang belum pernah dilihat. Betul saja, dari kejauhan pak Yaya meminta kami menghampirinya. Ternyata dia menemukan habitus Aegilitis annulata yang jumlahnya cukup banyak tersebar di dalam semacam kubangan besar dekar bibir sungai. Kami berdecak kagum dengan keindahan pohonnya yang mirip seperti bonsai beringin. Di permukaan daunnya terdapat kristal garam yang mengkilat, mereka sedang evaporasi (proses ekresi mengrove mengeluarkan kelebihan garam pada bagian tubuhnya). Ukuran Aegilitis annulata yang kami temui masih tergolong pendek, tidak seperti yang ada di Pulau Sumba, kami nyaris tidak menemukan pohon indukannya, hanya semaian yang kami temui.

Aegilitis annulata dikenal dengan sebutan “dancing mangrove” atau mangrove menari, hal ini dikarenakan bentuk pohonnya yang meliuk-liuk seperti orang menari. Namun berbeda dengan yang kami temui. Lagi-lagi ia kembali beradaptasi dengan lingkungannya. Tidak lama pak Paulo memanggil kami untuk naik ke perahu dan memulai perjalanan ke dalam hutan.

Selama diperjalanan mata kami dimanjakan oleh pemandangan mangrove yang sangat indah di antara Teluk Maubesi yang sangat luas. Kalau dari maps Teluk Hasan Maubesi memiliki ratusan aliran kanal-kanal yang membentuk seperti labirin. Ada banyak aliran kanal yang akhirnya bermuara ke laut yang sama. Namun jika tersasar cukup membingungkan karena banyak kanal yang menyempit dan menjadi sarang buaya. Mangrove jenis Rhizophora sp.  dan Avicennia sp. menjadi dominan di pinggir-pinggir sungai, mengarah agak ke dalam ada Osbornia octodonta yang berukuran besar, Ceriops tagal dan masih banyak lagi. Habitiusnya tersusun rapih berdasarkan zonasi mayor. Daun-daunnya lebat, akar-akarnya juga terlihat kokoh dan sehat. Di sepanjang aliran sungau kami tidak menemukan sampah plastik yang menyangkut di akar-akar mangrove.

Di bagian belakangnya terdapt zonasi asosiasi yang terlihat dari perbedaan gradasi warna daun dan rantingnya. Sangat indah!

Nelayan yang memandu kami sudah hafal jalan menuju Masin Lulik yang terbesar, sekitar 30 menit perjalanan kami sudah sampai di Masin Lulik. Dari kejauhan hanya terlihat sedikit puncak gunungnya. Untuk melihat lebih jelas, kami masih harus masuk ke dalam dengan berjalan kaki. Perahu kami menepi dan sampailah kami di area terlarang yang nelayanpun tidak boleh masuk ke dalam karena zona inti. Kami sangat beruntung karena mendapat izin penelitian untuk sampai masuk ke dalam.

Di sekitar gunung terdapat banyak habitus Ceriops tagal, kami semakin dekat menghampiri gunung Masin Lulik yang sangat besar itu, dan benar saja ukurannya sangat besar, 3x lebih besar dari Masin Lulik pertama yang kami lihat. Pemandu kami mengajak mendaki untuk sampai ke kawah di puncak, kami bergegas menghampiri dan ada sebuah fenomena menakjubkan, kawah di atas puncak mulai mengalami letupan kecil hingga sedang, sebuah pertanda gelombang laut sedang tinggi sehingga terjadi efek kontraksi pada Masin Lulik. Untung saja letupannya tidak besar sehingga semburat lumpur tidak dahsyat. Kami sangat takjub melihat fenomena alam yang sangat luar bisa itu, yang mungkin tidak semua orang dapat melihatnya secara langsung.

Ketika lumpur jatuh ke dasar lama kelamaan akan mengeras dan membentuk pecahan yang menyerupai puzzle, teksturnya sangat lembut dan tercium aroma minyak tanah. Konon katanya di dalam perut bumi yang terdapat Masin Lulik ada sumber minyak. Karena itu aroma pada kawahnya seperti bau minyak tanah. Namun sampai sekarang belum ada peneliti yang melakukan penelitian terkait kandungan minyak alam yang berada dalammya. Biarlah Masin Lulik tetap seperti apa adanya, tanpa intevensi dari manusia, sehingga kondisinya tetap terjaga di dalam hutan mangrove.

Di sekitar sini kami mengidentifikasi 5 jenis mangrove, di antaranya; Rhizophora stylosa, Ceriops tagal, Bruguiera hainesii, Sonneratia alba, dan Avicennia alba.

Setelah puas berkeliling dan identifikasi, kami kami kembali ke Dermaga Kletek dan berterima kasih kepada nelayan yang perahunya berhasil kami sewa. Nelayan-nelayan di sana sangat ramah dan berharap kami dapat berjumpa kembali. Kata pak Pulo mereka bukan orang-orang asli Malaka, namun banyak yang dari Buton, dan Sulawesi. Mereka transmigrasi ke Pulau Timor untuk mencari ikan lebih banyak dan membentuk sebuah perkampungan Muslim di Kletek. Tidak heran jika daerah pesisir banyak diduduki oleh bangsa asal Bugis, karena nyali mereka yang sangat kuat untuk berlayar jauh.

Hari Terakhir di Malaka

Hari ini adalah hari ke enam 14 September hari terakhir kami di Malaka. Namun sebelum kembali ke Jakarta kami akan bermalam di Kota Kupang karena perjalanan dari Malaka menuju Kupang tujuh jam perjalanan darat dan penerbangan ke Jakarta adanya di pagi, sehingga kami akan pulang di tanggal 15 September.

Semua data hasil eksplorasi sudah kami dapatkan, mulai dari data jenis mangrove, foto dan koordinat SW Maps. Kami mendapat banyak pelajaran dan pengalaman baru selama eksplorasi mangrove di Malaka, Nusa Tenggara Timur. Data mangrove dan relasi dari penggiat mangrove yang kami temui di lapangan diharapkan dapat bermanfaat bagi LEVA kedepannya. Dan keindahan alam mangrove di Malaka semoga tetap terjaga dan lestari.

Penulis: Nathasi Fadhlin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *