Lompat ke konten
Home » Blog » Aku dan Sang Kesatria Pesisir

Aku dan Sang Kesatria Pesisir

 
 
Kapal kayu menepi perlahan ke dermaga reot, mungkin tidak cukup layak disebut dermaga karena bolder atau pengait tali ke kapal sudah tidak berfungsi dengan baik. Abang perahu memberikan aba-aba kepada petugas dermaga untuk menangkap tali dari ABK kapal. Dengan sigap ia melilitkannya dengan baik menjerat tali dengan cekatan.

Sepanjang mata memandang, hanya terlihat kayu-kayu berserakan. Sekelompok kambing yang kelaparan sibuk mengais sampah bekas banjir. Sambil memegang kamera digital, tiba-tiba fokusku mengarah ke seberang sungai, seorang ibu sibuk mencucui tumpukan pakaiannya di luar bilik kakus.

Kami tertegun sebelum turun dari perahu sambil menarik nafas panjang. Tidak lama aba-aba komandan pasukan Pramuka berseru meminta kami semua turun dari perahu.

Sejak sebulan yang lalu, tim Pramuka dan OSIS SMA ku mengadakan penggalangan dana untuk korban banjir rob di Desa Pantai Mekar, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Mulai dari mengajukan proposal baksos ke CSR perusahaan, menjual makanan minuman di bazar, hingga ‘mengamen’ pertunjukan akapela. Uang yang terkumpul cukup lumayan untuk dibelanjakan peralatan tulis, buku, dan sembako. Kami juga mengumpulkan baju-baju bekas layak pakai untuk korban banjir.

Sebagian sekolah luluh lantah diterjang air bah, buku-buku dan peralatan sekolah habis tersapu banjir. Demikian dengan rumah-rumah warga. Tak banyak perabotan  yang selamat dari bencana alam tahun 2010 silam.

Sejak pembina OSIS kami mengabarkan hal itu, kami langsung bergerak membuka penggalangan dana. Menutup rangkaian penggalangan dana, kami berkunjung ke salah satu sekolah yang terdampak. Bersilaturahmi dengan OSIS dan tim Pramuka di SMA Pantai Mekar. Mereka sangat senang menyambut kedatangan kami, suasana menjadi haru ketika kami saling memberikan keyakinan pada mereka musibah pasti akan berakhir, dan keadaan akan seperti semula.

Usai menyalurkan bantuan, kami singgah ke rumah orang tua salah satu guru komputer. Rumahnya lumayan cukup jauh dari tempat bencana, sehingga kami kembali naik perahu untuk menyebrang. Beruntungnya desa rumah pak Kosasih tidak terdampak banjir rob, tambak-tambaknya masih selamat dari air bah yang membuat ikan-ikan bandeng dan udang tersapu habis di Desa Pantai Mekar.

Usai makan siang, kami diajak berkeliling tambak. Pak Kosasih mengedukasi kami tentang budidaya tambak ikan dan udang. Di sudut tambak ada yang mencuri perhatianku, beberapa kayu menyerupai bentuk kaki gurita menjulang tinggi mencengkram lumpur. Setelah diperhatikan ternyata itu adalah bagian dari akar pohon yang tumbuh di pinggir tambak.

“Kalau itu pohon bakau,” ujar pak Kosasih, seraya menunjuk ke arah pohon yang ku amati.

Aku langsung teringat sebuah film Natgeo yang dulu pernah ku tonton saat kelas 6 SD. Film dokumenter itu menunjukkan hutan bakau di Kalimantan.

Memori ingatan kembali merekam bagaimana film itu memperlihatkan keindahan hutan bakau sambil menyusurinya dengan perahu. Sejak menonton film itu, aku ingin sekali menginjakan kaki di Pulau Kalimantan, masuk ke hutan bakau dengan perahu sambil mengamati burung-burung.

Setahun setelah berkunjung ke Muara Gembong, aku lulus dari SMA. Di tahun pertama kuliah, himpunan mahasiswa pecinta alam di kampus mengadakan jambore ke pulau semak daun  di Kepulauan Seribu. Ini pertamakalinya aku berkunjung ke pulau tak berpenghuni untuk camping. Singkat cerita, sampailah kami di pulau semak daun. Ekspektasiku tentang pulau terbayar, birunya air laut, langit, pesisir pantai yang landai, pohon-pohon pantai yang rindang nan hijau.

Sebagai maba (mahasiswa baru), kami diajak senior mapala berkeliling pulau. Mereka meminta kami melepas sandal untuk merasakan pijakan pasir pantai yang lembut di kaki. Dipandu masing-masing ketua tim kami mulai menelusuri pinggi pantai. Mereka menjelaskan tentang keanekaragaman hayati pulau.

Hingga sampailah kami di belakang pulau. Dari kejauhan nampak pohon yang tidak asing bagiku. “Kalau itu ekosistem mangrove,” sahut ka Ilham salah satu tamu undangan pada acara jambore dari salah satu komunitas, yang ternyata komunitas mangrove di Jakarta.

“Kira-kira  usianya dua sampai tiga tahun,” tambahnya lagi.

Mataku langsung tertuju ke arah akarnya. Aku merasa seperti dejavu satu tahun yang lalu, saat pertamakali melihat mangrove di Muara Gembong.

Sambil menunjukan daun, akar, batang, dan buah, ka Ilham menjelaskan fungsi dari bagian-bagian pohon itu. Aku menyimaknya dengan antusias. Ia juga menjelaskan perbedaan mangrove dan bakau, ternyata keduanya berbeda. Mangrove adalah sebuah ekosistem yang berada di zona intertidal, atau dipengaruhi pasang surut air laut. Sementara bakau adalah sebutan nama lokal salah satu jenis pohon Rhizophora mucronata dari ekosistem mangrove.

Di akhir penjelasannya ia mengatakan esok pagi akan ada kegiatan penanaman mangrove. Aku sangat bersemangat, di pulau semak daun untuk pertamakalinya aku menanam mangrove.

Sejak saat itu, hutan mangrove terus terngiang-ngiang di benakku, rasa penasaran akan mangrove kian bertambah. Aku banyak mencari informasi tentang mangrove dari buku, internet, dan jurnal ilmiah.

Hingga pada pertengahan tahun 2013, bersama tiga sahabatku, kami mengunjungi Pulau Karimunjawa di Jawa Tengah. Dibutuhkan waktu lima jam perjalanan laut dari Pelabuhan Kartini di Jepara. Karimunjawa terkenal dengan wisata baharinya. Panorama bawah lautnya yang memukau, pantai pasir putih, wisata berenang dengan hiu di pulau Menjangan, matahari tenggelam yang eksotis di Tanjung Gelam, hingga hutan mangrovenya, yaa hutan mangrovenya!

Waktu hampir menunjukkan pukul 15.00, kami masih belum menemukan lokasi hutan mangrove, berbekal peta wisata kami menelusuri petunjuk jalan mengikuti arah mata angin, mengendalikan motor ke arah timur. Di sepanjang perjalanan kami melewati sawah, dari kejauhan padi-padinya terlihat menguning pertanda musim panen segera tiba. Tak jauh dari persawahan, kami melintasi jembatan, jalannya menyempit hingga sampailah di sebuah tempat yang rimbun pepohonan estuaria. Sekehening terdengar suara ombak berdebur samar “di situ hutan mangrovenya,” seruku.

Benar saja, tak lama kemudian kami menemukan papan nama “Tracking Mangrove Taman Nasional Karimunjawa.” Hutan mangrove yang sedari tadi kami cari. Wajahku sumringah menghirup udaranya yang khas, oksigen bersih masuk ke hidung hingga otakku, merangsang hormon dopamin yang memunculkan rasa bahagia.

“Ohh mangrove, aku kembali datang” …

Dari arah kiri kanan jalan tumbuh subur pohon-pohon bakau yang pernah ku lihat di muara gembong dan pulau semak daun, semua nampak sama. Setelah bergabung dengan komunitas mangrove dua tahun kemudian, barulah ku tau kalau mangrove memiliki banyak jenis. Indonesia menjadi penyumbang 23% luas hutan mangrove dunia. Ada 68 jenis mangrove sejati, keberadaanya tersebar di berbagai pesisir daerah. Salah satunya Karimunjawa yang memiliki keanekaragaman hayati mangrove cukup banyak.

Semakin ke dalam kami menemukan menara pandang, dari atas menara, terlihat landscape perbukitan hijau nan indah. Birunya laut memukau mata, mangrove yang tumbuh alami membentuk sabuk hijau pesisir. Sebuah pemandangan harmoni paling indah yang pernah ku lihat dari atas menara pandang. Dari tempat ini aku benar-benar jatuh cinta dengan mangrove. Luar biasa memang Sang Pemilik Kehidupan.

Sejak dari Karimunjawa, aku semakin penasaran dengan mangrove, di akhir tahun 2015 barulah mendapat kesempatan bergabung di komunitas mangrove. Aku banyak belajar otodidak, membaca jurnal, berdiskusi dengan senior yang mendalami mangrove dan mengenal para peneliti mangrove.

Di tahun 2016 aku terpilih menjadi ketua komunitas mangrove sampai tahun 2019, tiga tahun memimpin misi konservasi mangrove mengantarkanku ke banyak pengalaman. Dari situ langkah memulai petualangan bersama mangrove dimulai.

Di komunitas ini aku mendapat banyak kesempatan. Berbicara di berbagai forum-forum diskusi, perkuliahan, dan forum ilmiah. Berkolaborasi dengan akademisi, peneliti, penggiat, NGO Internasional dan local champion di desa-desa pesisir. Terjun ke dunia per-mangrovean adalah kesempatan yang sangat berharga dalam hidupku.

Dari mangrove aku mendapat kesempatan untuk menjelajahi hutan mangrove di berbagai daerah, mulai dari hutan mangrove di Jakarta, pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Timur. Setiap daerah memiliki ciri khas hutan mangrovenya, jenis-jenis mangrove langka juga pernah ku temui dan ku tanam, seperti Kandelia candel yang ku temui di Mempawah Mangrove Conservation, Kalimantan Barat dan Bruguiera hainesii yang kutemui di Desa Rabasa Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.

Selain memiliki nilai ekologis yang bermanfaat bagi biota laut, habitat burung migran, dan memperbaiki kualitas air, mangrove juga memiliki nilai ekonomis. Ibu-ibu di desa memiliki kearifan lokal membuat kuliner dari buah mangrove. Salah satunya di Desa Baros, terletak di muara sungai yang terhubung langsung di Selatan Kabupaten Bantul, Jawa Tengah. Masyarakat pesisir di sana memanfaatkan buah dari Avicennia marina atau yang dikenal dengan api-api menjadi bahan pembuat kue tradisional kue adrem, dan di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong yang memanfaatkan buah Sonneratia caseolaris atau pidada, sebagai bahan baku pembuatan sirup dan dodol yang kini sudah menjadi unit usaha UKM bernama Kelompok Bahagia Berkarya “KEBAYA.”

Mangrove tak hanya menghasilkan produk hasil hutan bukan kayu, sebagai penyedia jasa lingkungan, hutan mangrove berpotensi menjadi ecotourism, sebuah konsep wisata berbasis alam dan kearifan lokal. Banyak hal dan pengalaman menarik yang dapat dikembangkan dari hutan mangrove. Seperti penanaman mangrove, wisata kano, pengamatan burung dan identifikasi jenis.

Seperti yang terjadi pada Desa Pantai Mekar di Muara Gembong. Pada tahun 2005 dan 2010 telah terjadi bencana banjir rob besar, sehingga meluluh lantahkan tambak ikan dan udang, hal ini terjadi akibat menebang pohon-pohon di hutan mangrove, mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi tambak. Sebelum bencana rob datang, desa tersebut dijuluki “kampung dollar” karena hasil tambak sangat berlimpah dari usaha tambak.

Keberadaan hutan mangrove memang tidak bisa tergantikan oleh apapun, hilangnya mangrove artinya sudah siap menghadapi bencana alam. Oleh sebab itu, di tahun 2010 penyadartahuan tentang fungsi mangrove kepada masyarakat mulai diinisiasi oleh mahasiswa yang tengah melakukan penelitian dan kuliah kerja nyata. Hingga akhirnya terbentuk Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmaswas) bernama Aliansi Pemuda Pemudi Bahagia Tangguh “ALIPBATA” yang menerapkan konsep ekowisata.

Hingga sekarang, warga giat menanam mangrove, bersinergi dengan komunitas, lembaga, dan CSR. Saling mendukung dan membantu untuk memulihkan desa mereka melalui kolaborasi penanaman mangrove.

Dari mangrove aku mendapat banyak cerita baru, cerita yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Sebuah kesaksian mereka yang hidup berdampingan dengan hutan mangrove, bahwa mangrove telah menjadi Kesatria kampung mereka dari bencana. Hingga cerita mengharukan, tentang alih fungsi lahan mangrove menjadi perumahan dan pelabuhan.

Dari mangrove aku semakin merasakan krisis iklim yang sedang terjadi di alam semesta, isu kerusakan mangrove juga tak bisa dipandang sebelah mata oleh manusia.

Akar-akarnya yang kuat, menopang batang dan daun yang lebat. Menjadi tempat di mana kehidupan biota laut dimulai, menjadi tempat ikan-ikan bertelur, tempat mencari makan, dan pengasuhan. Mangrove sebuah ekosistem ajaib yang dapat menyimpan jutaan ton karbon pada serasah dan pohonnya. Mangrove mengajariku seni menjaga alam agar tetap seimbang dan terhubung, antara Manusia, Bumi dan Tuhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *